Friday, July 11, 2008

Oleh-oleh dari KEK: Ayo turun















(Dikirim ke mailing-list: Komunikasi_KAS dan Serayu-Net - 2 Juli 2008)

Dear Milis,

Kongres Ekaristi dimulai dengan perayaan Ekaristi di Gereja Jago Ambarawa. Ketika rombongan kami tiba, ternyata gereja sudah mulai penuh dan petugas memberitahu kami kalau di balkon masih banyak tempat duduk. Lalu kamipun naik ke balkon dan memang masih banyak tempat. Dari atas ternyata malahan mendapatkan pemandangan yang lebih bagus, karena bisa langsung melihat ke altar tanpa halangan.

Misa berjalan lancar meskipun ketika di penghujung acara sebelum pengumuman dan prosesi, lampu-lampu utama sempat mati dan tidak hidup sampai prosesi dimulai. Untungnya sound-system "cadangan" (termasuk toa/megaphone) bisa lumayan membantu.

Ketika prosesi akan mulai, saya sebenarnya sudah menyiapkan kamera digital untuk mengambil gambar Sakramen Mahakudus dari balkon. Tapi ada seorang ibu mengajak saya turun supaya nanti bisa 'menelusup' didalam iring-iringan di belakang Sakramen Mahakudus. Sayapun akhirnya turun, sambil dalam hati membatin, wah benar juga ya ajakan turun tadi. Kalau saya di atas balkon dan Sakramen Mahakudus lewat di bawah saya, berarti kan tidak ada rasa hormat.

Di bawah balkon ternyata sudah banyak orang, dan hanya ada tempat sedikit saja untuk saya berdiri. Saya menunggu sampai Sakramen Mahakudus muncul di bawah balkon dan siap untuk mengambil gambar. Tapi begitu saya lihat Sakramen Mahakudus itu, betapa terkejutnya saya. Sakramen Mahakudus itu tampak berwarna biru cerah mirip kilau permen fox yang bening itu. Dada saya pun seketika terasa mendapatkan dorongan sampai terasa sesak. Saking kagetnya, saya cepat-cepat berlutut dan sempat selintas untuk segera mengambil fotonya. Kamera digital segera saya arahkan ke Sakramen Mahakudus tanpa peduli lagi apakah sudah masuk frame dan fokus. Langsung saja saya jepret sambil masih berlutut.

Sungguh membingungkan. Otak saya yang terbiasa dengan sains serta segala kenalarannya, langsung mencari tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Saya pikir dari belakang ada lampu yang menyorot Sakramen Mahakudus sehingga tembus dan memberi efek biru. Tapi saya teringat kalau lampu-lampu utama di dalam gereja mati, dan tinggal tersisa beberapa lampu hemat energi. Lalu dari mana bisa timbul efek biru tersebut? Dua hari kemudian ketika misa penutupan, saya berkesempatan melihat monstrans yang dipakai Sakramen Mahakudus tersebut dari bagian belakang. Ternyata belakang monstran itu terbuat dari logam dan bukan kaca. Jadi tak mungkin kalau ada pencahayaan dari belakang. Aneh.

Mengenai tenaga yang terasa mendorong keras dada saya itupun juga sulit dipahami secara nalar. Bingung saya untuk menerangkan fenomena tersebut secara ilmiah. Untungnya ini bukan ujian fisika optik atau fisika nuklir, karena pasti tidak lulus. Untuk ini saya harus minta maaf kepada dosen-dosen saya di MIPA Fisika UGM, karena alumninya tak mampu menjawab fenomena yang dialami. Memalukan ya. Mudah-mudahan saja mahasiswa saya tidak ada yang membaca kebodohan saya ini.

Apapun yang terjadi, bagi saya pengalaman iman itu (sinar biru) memelekkan mata dan (dorongan tenaga) membuka hati saya untuk lebih terbuka terhadap sapaan Tuhan dengan cara yang diinginkanNya. Kemuliaan bagiNya, sekarang dan selama-lamanya.

Salam,
Petrus Paryono

No comments: